Jam Ini Mengikuti Jam Yang Berada di PC Anda

Senin, 30 Januari 2012

Kecapi, Suling, Identitas Seni Budaya Sunda

Kecapi memang telah familiar bagi masyarakat Indonesia. Alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipetik ini memang menghasilkan alunan nada yang harmoni dan indah. Namun tidak banyak yang mengetahui tentang Kecapi atau Kacapi Suling khas daerah Cianjur meskipun seni musik ini merupakan perangkat waditra sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di tanah Sunda.
Kecapi Suling pada dasarnya terdiri dari kecapi indung atau yang lebih dikenal dengan kecapi parahu karena bentuknya yang mirip sebuah perahu. Kecapi suling biasanya disajikan secara instrumental, namun terkadang juga digunakan untuk mengiringi juru sekar dalam melantunkan lagu secara rampak sekar. Lagu-lagu yang disajikan biasanya sinom degung, kaleon, talutur dengan laras salendro, pelog atau sorog.
Layaknya kecapi pada umumnya, kecapi suling juga terbuat dari kayu dan kawat tembaga. Alat musik tradisional ini terdiri dari beberapa bagian seperti Papalayu (bagian atas), Pureut di bagian depat (bagian untuk mengatur nada atau menyetem), serta inang  yang berbentuk kerucut dan ditempatkan pada papalayu.
Sementara untuk suling terbuat dari bambu tamiang yang trediri atas sumber (lubang bagian atas), suliwer  (tali yang dililitkan pada bagian atas suling serta lubang nada yakni lubang-lubang yang menghasilkan nada ketika ditiup.
Sebagai alat musik tradisional, kecapi suling kerap dugunakan untuk mengiringi acara-acara tradisonal khas Sunda seperti Ngaras, Siraman Pengantin, Siraman Sunatan, Siraman Tingkeban dan lain-lain. lagu-lagu yang digunakan diambil dari beberapa tembang Sunda seperti Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon.
Pada dasarnya kecapi suling merupakan bagian dari mamaos. Mamaos sendiri adalah seni budaya khas Cianjur yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa sehingga menjadi rekat tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Mamaos sendiri terbentuk pada masa pemerintahan Bupati Cianjur tahun 1834-1864 bernama R.A.A Kusumaningrat. Beliau seringkali membuat lagu di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karnea itu masyarakat mengenalnya dengan sebutan Kanjeng Pancaniti.
Mamaos sendiri biasa dilakukan oleh para kaum pria yang kemudian pada perempatan abad ke-20, kaum wanita pun turut serta dalam kebudayaan tersebut. Bahan mamaos sendiri berasal dari beragam seni suara Sunda seperti pantun, beluk, degng dan beberapa tembang macapat Jawa.
Kesenian mamaos mulai berkembang pada masa pemerintahan Bupati R.A.A Prawirediredja II tahun 1864-1910. Sejak itu pula kesenian kecapi suling juga berkembang mengingat kecapi suling digunakan sebagai pengiring kesenian mamaos.
Kecapi suling adalah salah satu seni budaya Indonesia yang patut untuk dihargai dengan dijaga kelestariannya. Keunikan serta harmoni yang dihasilkan merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Yang jelas kecapi suling bukan sekedar kekayaan budaya yang menjadi warisan nenek moyang. Salah satu kesenian sunda ini juga menjadi salah satu identitas bangsa yang patut dipertahankan.

Senin, 09 Januari 2012

Tari Jaipong Kesenian Tradisional Jawa Barat

Tari Jaipong Kesenian Tradisional Jawa Barat

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.

MENYEBUT Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.

Sejarah
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.

Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.

Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).

Perkembangan Tari Jaipong
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.

Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).

Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan dan tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata dan Asep.

Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong.

Senin, 02 Januari 2012

Budaya: Kesenian Angklung Sunda

Budaya: Kesenian Angklung Sunda: Angklung Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat ber bahasa Sunda...